Kisah Produk Rumahan Yang Kini Diminati Oleh Gerai Oleh-Oleh Modern

Di balik etalase berlampu terang di gerai oleh-oleh kekinian yang tersebar di bandara, pusat kota, dan destinasi wisata, ada kisah penuh perjuangan dari dapur kecil, tangan-tangan terampil, dan mimpi sederhana. Cerita tentang seorang ibu rumah tangga yang tak pernah menyangka produk kreasinya akan berdiri sejajar dengan brand besar dan diburu wisatawan dari berbagai daerah.

Adalah Dewi Kartikasari, perempuan asal Salatiga, Jawa Tengah, yang memulai bisnis kecil-kecilan dari dapur rumahnya. Lewat produk Kue Lapis Daun Pandan Buatan Tangan, ia berhasil menembus pasar gerai oleh-oleh modern seperti Titipku Mart, Bandara Semarang Souvenir Hub, dan kios premium oleh-oleh milik influencer lokal. Produk yang dulu hanya dijual melalui grup WhatsApp kini dikemas elegan, berlogo, dan tampil di rak depan toko oleh-oleh terkenal. Perjalanan Dewi adalah cerminan bahwa produk lokal rumahan bisa naik kelas jika digarap dengan sepenuh hati dan strategi yang tepat.


Awal Usaha: Dari Permintaan Tetangga ke Permintaan Pasar

Segalanya dimulai secara tak sengaja di tahun 2017. Dewi adalah seorang ibu dua anak yang gemar membuat jajanan pasar. Salah satu keahliannya adalah kue lapis pandan yang ia buat setiap Jumat untuk arisan RT. Kue itu mendapat pujian karena teksturnya lembut, rasa manisnya pas, dan aromanya alami dari daun pandan segar yang ia tumbuk sendiri.

Suatu hari, seorang tetangga memesan 10 kotak untuk acara pengajian. Dari sana, pesanan terus berdatangan, mulai dari acara ulang tahun, selametan, hingga pesanan pribadi. Ia mulai menerima orderan lewat pesan singkat dan media sosial. Dalam waktu enam bulan, dapur rumahnya berubah jadi dapur produksi kecil.

Dewi memberi nama produknya: โ€œLapis Ibu Dewi โ€“ Manisnya Asli Daun Pandanโ€.


Tantangan Produksi Rumahan: Terbatas Tapi Tetap Bertahan

Seperti usaha rumahan pada umumnya, keterbatasan alat, tenaga, dan bahan menjadi tantangan utama. Ia hanya memiliki 2 loyang kukusan, satu mixer lama, dan meja dapur sempit. Proses pembuatan kue lapis membutuhkan waktu dan ketelitian: setiap lapisan harus dikukus bergantian, tak boleh terburu-buru.

Namun justru karena dibuat manual, produk Lapis Ibu Dewi memiliki cita rasa yang khasโ€”tidak seperti produk pabrikan. โ€œSaya tidak pakai pewarna makanan. Semua dari daun pandan dan suji, bahkan santan saya peras sendiri,โ€ ujarnya.

Dewi tetap mempertahankan prinsip:

  • Tanpa pengawet
  • Menggunakan bahan segar
  • Tidak diproduksi massal tanpa kontrol rasa

Langkah Awal Naik Kelas: Kemasan dan Branding

Titik balik datang saat Dewi mengikuti pelatihan UMKM yang diadakan Dinas Koperasi Kota Salatiga. Dalam pelatihan itu, ia belajar tentang pentingnya branding, legalitas, dan pengemasan modern. Ia didampingi membuat:

  • Logo produk sederhana
  • Label kandungan bahan dan informasi halal
  • Kemasan mika bersegel dan box karton dengan desain menarik
  • Sertifikat PIRT (Produksi Industri Rumah Tangga)

Setelah kemasan diperbaiki, kesan pertama pembeli pun berubah. Produk yang tadinya terlihat seperti jajanan pasar biasa kini tampak profesional. โ€œBanyak yang bilang kemasannya mirip oleh-oleh kekinian. Padahal isinya tetap kue tradisional,โ€ kata Dewi.


Dilirik Gerai Oleh-Oleh Modern

Setelah ikut bazar produk UMKM di kota, nama Lapis Ibu Dewi mulai dikenal. Seorang kurator produk dari gerai oleh-oleh modern Titipku Mart tertarik mengajak Dewi untuk menitipkan produknya di toko. Namun ada beberapa syarat:

  • Kue harus tahan minimal 4 hari tanpa bahan pengawet
  • Ukuran dan berat harus konsisten
  • Kemasan harus food-grade dan aman kirim jarak jauh

Dewi tak gentar. Ia bekerja sama dengan ahli pangan dari politeknik setempat untuk menyesuaikan formula. Ia juga membeli vacuum sealer dan cooler box kecil agar kue tetap awet selama pengiriman.

Akhirnya, sejak pertengahan 2019, produk Lapis Ibu Dewi resmi masuk rak oleh-oleh modernโ€”sejajar dengan produk pastry, bakpia kekinian, dan brownies kukus merek terkenal.


Adaptasi dan Inovasi Menu: Dari Tradisional ke Tren Masa Kini

Untuk menjaga daya tarik di pasar oleh-oleh modern, Dewi tidak berhenti pada satu varian. Ia mulai mengembangkan:

  • Lapis Pandan Keju
  • Lapis Pandan Coklat Lumer
  • Lapis Mini (ukuran snack box)
  • Lapis Frozen Siap Kukus Ulang

Varian baru ini mengikuti selera milenial yang menyukai rasa familiar namun presentasi kekinian. Ia juga bekerja sama dengan ilustrator lokal untuk membuat desain packaging lebih Instagramableโ€”dengan warna pastel, font modern, dan slogan menarik:

โ€œTradisi Lapis, Rasa Tulus, Oleh-Oleh Serius.โ€


Dampak Penjualan dan Pertumbuhan Bisnis

Setelah produk masuk ke tiga gerai oleh-oleh dan dua toko daring makanan khas daerah, penjualan pun naik signifikan. Jika awalnya hanya membuat 30 loyang per minggu, kini ia memproduksi hingga 200 loyang setiap minggu.

Ia merekrut 6 ibu rumah tangga sekitar rumah untuk membantu produksi dan packing. Mereka dilatih agar konsisten dengan SOP produksi, mulai dari takaran, waktu kukus, hingga tata letak lapisan.

Pendapatan bersih Dewi kini mencapai belasan juta rupiah per bulan. Ia bisa menyekolahkan anak hingga kuliah dan membeli oven besar serta mesin mixer profesional.


Pembelajaran: Konsistensi, Kualitas, dan Kepercayaan

Bagi Dewi, keberhasilannya bukan hanya karena rasa, tapi karena:

  1. Konsistensi produk โ€“ rasa, ukuran, dan kualitas dijaga tiap hari
  2. Keterbukaan belajar โ€“ ikut pelatihan, mendengar saran konsumen
  3. Kepercayaan pelanggan โ€“ selalu menjaga higienitas, ramah dalam komunikasi, dan tanggap terhadap komplain

Ia percaya, โ€œOrang boleh tertarik karena kemasan, tapi yang membuat mereka balik lagi adalah rasa dan pelayanan.โ€


Kolaborasi dan Pemasaran Digital

Dewi tak hanya mengandalkan toko fisik. Ia juga aktif di Instagram dan TikTok. Di sana, ia membagikan:

  • Video proses pembuatan kue (behind the scene)
  • Tips memasak dari rumah
  • Review dari pelanggan yang pulang kampung dan beli oleh-oleh

Kolaborasi pun dijalankan. Ia pernah mengirimkan produk untuk food vlogger lokal dan membuka pre-order via platform marketplace oleh-oleh nasional seperti Kulina, Ladara, dan SmescoHub.


Harapan dan Rencana Ke Depan

Kini, Dewi sedang mempersiapkan dapur produksi bersertifikasi halal dan ISO sederhana agar bisa masuk lebih banyak jaringan toko modern. Ia juga ingin membuat franchise booth mini untuk mahasiswa yang ingin jadi reseller produk lapis buatannya.

Visi besarnya sederhana namun kuat:

โ€œSaya ingin setiap orang bisa membawa pulang oleh-oleh khas kampung halaman, meski tinggal di kota besar. Makanan rumahan bisa jadi kenangan dan bisnis yang membanggakan.โ€


Kesimpulan: Dari Dapur Sederhana ke Etalase Oleh-Oleh Modern

Kisah Dewi Kartikasari dan โ€œLapis Ibu Dewiโ€ membuktikan bahwa produk rumahan bukanlah produk rendahan. Justru dengan rasa asli, sentuhan tangan, dan cerita personal, produk rumahan punya keunggulan tersendiri yang tak bisa ditiru pabrik besar.

Dengan kemauan belajar, keberanian berinovasi, dan ketekunan menjaga kualitas, sebuah produk yang dulu hanya untuk konsumsi keluarga kini menjadi produk oleh-oleh bernilai tinggi. Dikenal, dipercaya, dan dicari banyak orang.

Dari dapur sempit, kini produknya hadir di rak toko modern. Dari pengukus bambu sederhana, kini tampil dalam kemasan elegan. Semua berkat semangat naik kelas, tanpa melupakan akar tradisi.

Dan kisah ini adalah panggilan bagi pelaku UMKM lainnya: apa yang dibuat dari rumah bisa menjelajah dunia, asal digarap dengan hati dan strategi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More Articles & Posts