
Di balik asap kayu bakar yang mengepul dari dapur sederhana, terdengar suara lesung yang ditumbuk pelan, aroma daun rempah menguar di udara, dan tangan-tangan lincah yang mengiris bumbu dengan telaten. Di sinilah sebuah pengalaman kuliner yang sangat berbeda dimulaiโbukan di dapur modern atau hotel berbintang, melainkan di sebuah desa tenang di lereng perbukitan, tempat di mana ilmu memasak diwariskan dengan hati dan budaya disajikan dalam rasa.
Inilah kisah Laras, seorang wanita muda dari Jakarta, yang mengikuti cooking class tradisional di Desa Wisata Kembangarum, Yogyakarta. Dari niat awal sekadar liburan dan mencari kegiatan yang berbeda, ia pulang membawa lebih dari sekadar foto dan resepโia membawa ilmu, inspirasi, dan pandangan baru tentang kehidupan dan makanan.
Awal Mula: Mencari Liburan yang Bermakna
Laras adalah seorang desainer grafis berusia 28 tahun. Setelah bertahun-tahun terjebak rutinitas kota, ia merasa hidupnya berjalan datar. โAku butuh istirahat, bukan cuma dari pekerjaan, tapi dari ritme hidup yang cepat dan penuh tekanan,โ katanya.
Sebuah iklan kecil tentang โCooking Class di Desa Wisataโ muncul di beranda Instagram-nya. Program ini menawarkan pengalaman memasak makanan tradisional bersama ibu-ibu desa, langsung dari bahan yang dipetik di kebun, dimasak di dapur kayu, dan disantap bersama-sama.
Tanpa pikir panjang, Laras mendaftar untuk program tiga hari di Desa Kembangarum, sebuah desa yang dikenal aktif dalam pelestarian budaya Jawa, kuliner tradisional, dan ekowisata.
Hari Pertama: Menyatu Dengan Alam dan Bahan-Bahan Segar
Setibanya di desa, Laras disambut oleh Bu Pertiwi, instruktur utama cooking class yang juga ketua kelompok wanita tani setempat. Dengan senyum hangat dan bahasa Jawa yang lembut, Bu Pertiwi mengajak peserta menginap di homestay dan memulai hari pertama dengan panen bahan masakan sendiri.
โKita hari ini mau masak sayur lodeh, sambel lombok ijo, dan tempe bacem. Tapi sebelum masak, ayo ke kebun dulu,โ ucap Bu Pertiwi.
Laras ikut memetik daun melinjo, memanen cabe rawit yang merah menyala, mencabut singkong dari tanah, dan mengambil bunga turi dari pagar hidup. Baginya, ini bukan sekadar mengambil bahanโini adalah proses memahami siklus hidup makanan dari tanah hingga piring.
Ia terkejut saat tahu bahwa hampir semua bahan bisa ditemukan dalam radius 100 meter dari dapur. Tak ada bumbu instan, tak ada makanan beku, hanya bahan-bahan segar yang tumbuh dari tangan masyarakat sendiri.
Hari Kedua: Belajar Lebih Dari Sekadar Resep
Hari kedua adalah saat proses memasak dimulai. Di dapur kayu sederhana, Laras bersama tiga peserta lainnya diajari cara membuat sambal dari cobek batu, mengatur api dari kayu bakar, dan memasak dengan wajan tanah liat. Suara letupan minyak, aroma bawang merah yang digoreng, dan percikan santan yang mengental menjadi irama yang membangkitkan kenangan dan rasa damai.
Namun, Laras segera menyadari bahwa cooking class ini bukan sekadar memasak.
Bu Pertiwi tak hanya menjelaskan langkah memasak, tapi juga filosofi di baliknya.
โMasakan Jawa itu soal kesabaran. Kalau lodehmu mendidihnya buru-buru, rasanya gak akan mantep. Kaya hidup, semuanya butuh waktu. Pelan, tapi dalam.โ
Setiap teknik masak diselingi dengan cerita tentang adat, petuah leluhur, dan kebiasaan desa. Misalnya, kenapa bacem harus dimasak dua kali agar meresap; atau kenapa sambel sebaiknya dibuat langsung sebelum makan, agar rasa dan energinya tetap segar.
Laras menulis di jurnal kecilnya:
โTernyata, memasak bisa menjadi meditasi. Aku belajar mendengar aroma, mendengar suara wajan, bahkan mendengar batinku sendiri.โ
Hari Ketiga: Memasak untuk Orang Lain, dan Dihidangkan dengan Cinta
Hari terakhir adalah hari paling mengesankan. Setiap peserta diberi kesempatan menyajikan makanan hasil kreasinya untuk warga desa dan sesama peserta. Laras memilih memasak lodeh dan membuat sambal mangga muda, dibantu anak-anak kecil yang antusias.
Hidangan disusun di atas daun pisang panjang, dengan tumpeng kecil di tengahnya. Saat makanan disajikan, semua orang duduk lesehan dan menyantap bersama sambil tertawa dan bercerita.
โAku belum pernah merasa sepenuh ini saat memasak. Karena kali ini aku masak bukan buat pamer, tapi buat berbagi,โ kata Laras, sambil menahan air mata.
Sore itu, Laras mendapat sertifikat simbolis, bukan sekadar tanda kelulusan, tapi pengakuan bahwa ia telah melewati pengalaman belajar yang menyentuh jiwa. Bu Pertiwi menutup acara dengan kalimat sederhana:
โKalau sudah pulang nanti, jangan cuma ingat resepnya, tapi juga rasanya. Rasa kehidupan, rasa syukur.โ
Ilmu dan Inspirasi yang Dibawa Pulang
Setelah kembali ke Jakarta, kehidupan Laras berubah perlahan. Ia mulai memasak lebih sering di rumah, mencari bahan segar di pasar tradisional, dan bahkan mulai membagikan resep-resep tradisional melalui media sosial.
Namun, yang paling penting, ia membawa pulang nilai-nilai baru tentang hidup dan makanan:
- Kesederhanaan bisa menghadirkan kedalaman rasa
- Memasak adalah bentuk cinta dan doa dalam tindakan
- Hidangan yang enak bukan karena mahal, tapi karena niat dan proses yang tulus
- Kita perlu lebih banyak mendengar alam dan ritme alami tubuh, bukan hanya mengikuti tren cepat saji
Ia juga mulai mengembangkan ide untuk membuat kelas memasak urban berbasis resep tradisional, berkolaborasi dengan komunitas perempuan dan lansia di lingkungan sekitarnya.
Dampak Positif bagi Desa dan Budaya Kuliner
Cooking class di Desa Kembangarum bukan hanya memberi manfaat bagi peserta seperti Laras, tetapi juga memberdayakan ekonomi dan budaya lokal. Program ini:
- Memberi penghasilan tambahan bagi ibu-ibu desa
- Menjaga keberlanjutan kebun pangan lokal
- Menghidupkan dapur tradisional yang mulai tergeser
- Mengangkat nilai budaya melalui makanan dan cerita
Program ini telah menerima penghargaan dari Kementerian Pariwisata dan telah diikuti oleh lebih dari 800 peserta dari dalam dan luar negeri sejak 2018. Banyak alumni yang kemudian menjadi promotor makanan lokal di daerahnya masing-masing.
Penutup: Dari Dapur Desa, Kembali ke Akar Rasa
Kisah Laras adalah satu dari banyak cerita orang-orang kota yang menemukan kembali makna memasak di dapur-dapur desa. Ketika dunia terus bergerak cepat, tempat-tempat seperti Desa Kembangarum menawarkan ruang untuk berhenti sejenak, menghirup aroma tanah basah, mendengar cerita ibu-ibu desa, dan belajar bagaimana hidangan sederhana bisa menyentuh hati.
Cooking class ini bukan hanya mengajarkan resep, tapi menghidupkan kembali rasa hormat terhadap proses, terhadap bahan, dan terhadap orang-orang yang merawatnya sejak dari tanah. Ia adalah perjalanan pulang, bukan ke rumah, tapi ke akar budaya dan jati diri.
Laras kini percaya, bahwa makanan terbaik bukan yang paling mahal atau paling viralโtetapi yang dimasak dengan hati, dibagikan dengan sukacita, dan dirayakan bersama. Dan pelajaran itu, ia temukan bukan di restoran mewah, tapi di dapur kecil, di sebuah desa yang hangat, penuh rasa, dan cinta.
Tinggalkan Balasan